ANALISA -Ada banyak analisis yang bisa ditulis terkait aksi terbaru
kelompok Islamophobia yang membuat film nista berjudul Innocence of
Muslims. Saya ingin membahasnya dari sisi ini: ‘siapa yang pertama
memulainya?’
Banyak yang mengecam aksi kekerasan di Libya.
Sebagian orang Islam sendiri langsung ‘setuju’ dengan citra yang
disebarluaskan oleh media Barat: bahwa aksi pembunuhan terhadap para
diplomat AS di Libya adalah ‘balas dendam’ atas pembuatan film Innocence
of Muslims.
Lalu lagi-lagi, Muslim disalahkan dan dicitrakan
sebagai penganut agama kekerasan. Sebagian Muslim pun malah saling
menasihati, “Marah boleh, tapi jangan membunuh dong!” atau, “Rasulullah
saja kalau masih hidup pasti akan memaafkan; beliau tidak akan setuju
kalau kita berbuat biadab.”
Pertanyaannya, siapa ‘kita’ yang dimaksud? Siapa yang membunuh Dubes AS?
Bila dirunut lagi, aksi penyerangan itu diawali dengan datangnya massa
ke gedung konsulat AS di kota Benghazi. Mereka melakukan demo
menyuarakan protes mereka atas pembuatan film yang menghina Nabi
Muhammad. Lalu,tiba-tiba sekitar 20 militan datang dengan membawa RPG7
dan membardir gedung konsulat sehingga menewaskan Dubes AS beserta 3
stafnya.
Penyerangan seperti ini jelas memerlukan persiapan.
Ini bukanlah proses ‘alami’: ada demo, lalu situasi memanas, dan
terjadilah aksi anarki. Bahkan sumber dari AS sendiri menyatakan bahwa
penyerangan itu terlihat sudah direncanakan dan menjadi aksi demo
sebagai pengalihan perhatian (CNN 13/9/2012).
Lalu, siapa
militan yang membawa RPG7 itu? Memang belum bisa dipastikan. Tapi,
Clinton sendiri sudah menyatakan, “Mereka adalah kelompok kecil yang
bengis, bukan rakyat atau pemerintah Libya.”
Dan bila dilihat
dari ‘sejarah’-nya, Konsulat AS di Benghazi sebelumnya (7 Juni 2012)
juga pernah dibom oleh kelompok yang memiliki link dengan Al-Qaidah,
yaitu kelompok Omar Abdul Rahman. Para pengebom meninggalkan leaflet
yang berisi pernyataan bahwa serangan itu sebagai balasan atas tewasnya
salah satu pimpinan mereka, Abu Yahya al Libi. Mereka juga menjanjikan
akan melakukan serangan lagi terhadap AS. Tidak ada korban tewas dalam
aksi bulan Juni itu.
Di satu sisi, kenyataan ini terasa ironis.
AS telah memimpin perang melawan “terorisme” di Afghanistan dan Irak,
dengan dalih memburu Al-Qaidah dan Usamah bin Ladin. Tapi di Suriah, AS
justru bekerja sama dengan Al-Qaidah untuk menggulingkan Assad. Bahkan
lebih ironis lagi, Al-Qaidah didirikan dan didanai oleh AS (ini bukan
teori konspirasi, Hillary Clinton sendiri sudah terang-terangan
mengakuinya, rekamannya bisa didapatkan di youtube).
Atas dasar
uraian di atas, saya berpendapat aksi kekerasan di Libya perlu
dipisahkan dari aksi protes di berbagai negara Muslim. Aksi demo di
depan kedutaan besar AS di berbagai negara Muslim hendaknya dilihat
sebagai bentuk kecintaan umat Islam terhadap Nabi mereka.
Penghinaan terhadap Islam tidak bisa lagi berlindung di balik “kebebasan
bereskpresi”. PBB pada tahun 2009 sudah mengesahkan resolusi yang
menyatakan bahwa segala bentuk penghinaan terhadap agama adalah
pelanggaran HAM.
Sebelumnya, pada tahun 2005 PBB juga
mengesahkan resolusi yang pada intinya ‘pembelaan’ terhadap Holocaust
dan pelarangan segala bentuk penyangkalan dan penghinaan terhadap
sejarah Holocaust.
Namun, ada satu poin dalam resolusi itu yang
bisa diaplikasikan secara umum, ”Mengutuk tanpa kecuali segala bentuk
manifestasi intoleransi agama, penghasutan, penghinaan, atau kekerasan
terhadap orang-orang atau komunitas berdasarkan etnik atau kepercayaan
agama dimana pun terjadi.”
Mari kita kembali kepada pertanyaan
pertama: siapa yang memulai semua ini? Mengapa Muslim disalahkan bila
menyuarakan protes atas penghinaan agama, sementara pihak pertama yang
membuat ‘gara-gara’ (yaitu si pembuat film) diposisikan sebagai korban
(sehingga harus dilindungi)? Bukankah secara internasional (melalui
resolusi PBB) juga diakui kesalahan si penghina?
Presiden Obama
dan Menlu Clinton telah mengeluarkan pernyataan resmi mengutuk
penyerangan di Benghazi dan menyatakan “Make no mistake, justice will be
done.” Tapi, masalahnya, keadilan yang dimaksud Obama hanyalah keadilan
untuk “teroris” di Libya. Dengan segera mereka mengirimkan dua kapal
perang ke Libya untuk mengusut kasus ini.
Namun, ada yang lupa
untuk dikutuk oleh Obama dan Clinton: yang pertama membuat masalah,
yaitu si pembuat film itu. Sebagai pemimpin negara, mereka seharusnya
menegakkan keadilan dari sisi pelanggaran HAM yang dilakukan si pembuat
film.
Seharusnya, mereka mengambil langkah hukum untuk melarang
segala bentuk aksi penghinaan agama di negara mereka. Dogma kebebasan
berekspresi tidak bisa dipakai untuk isu-isu agama. Bukankah Holocaust
pun sedemikian mereka lindungi dan tidak boleh ada yang menyangkalnya,
apalagi menghinanya?
Dogma ‘kebebasan berekspresi’ memang
terlihat munafik saat dihadapkan pada Holocaust. Ketika dunia Muslim
marah akibat pembuatan “kartun Nabi Muhammad” di Denmark, Barat
melindungi para “seniman” itu atas nama kebebasan berekspresi.
Lalu, saat koran Hamshahri (Iran) melakukan aksi balasan dengan membuat
Lomba Melukis Karikatur Holocaust, mereka (termasuk Sekjen PBB Kofi
Annan saat itu) serempak mengecamnya.
Kejadian pembantaian kaum
Yahudi oleh NAZI Jerman ini dianggap peristiwa suci yang tidak boleh
dipertanyakan. Sejarawan Roger Garaudy pernah dijatuhi hukuman denda
$40.000 pada tahun 1998 karena menulis buku berjudul ‘Mitos dan Politik
Israel’ yang isinya mempertanyakan kebenaran Holocaust.
Sejarawan-sejarawan lainnya, yang diistilahkan sebagai ‘revisionis’,
juga mengalami intimidasi (dan sebagiannya dijatuhi hukuman) karena
mempelajari ulang sejarah Holocaust. Padahal yang dilakukan oleh
sejarawan itu adalah kegiatan akademis, bukan ‘penghinaan’. Misalnya,
Frederic Toben dalam makalahnya menulis hitung-hitungan jumlah korban
Holocaust.
Berdasarkan data persidangan, pembakaran mayat orang
Yahudi di kamp Auschwitz tidak dilakukan terus-menerus. Setiap 8-10
jam, oven pembakaran harus dimatikan. Bila diasumsikan dalam sehari oven
bekerja 9 jam dan satu oven hanya bisa membakar 3 mayat, berarti dalam
sehari ada 27 mayat yang dibakar.
Maka, bila dijumlahkan
keseluruhannya, total angka yang keluar adalah, ada sekitar 480 ribu
mayat yang dibakar di Auschwitz. Tetapi, anehnya, data yang dianggap
valid dan tidak boleh diganggu gugat adalah: ada 4 juta Yahudi yang
dibunuh Nazi di Auschwitz.
Holocaust, bagi Barat adalah
peristiwa ‘innocence’ (suci, murni) yang tak boleh disangkal, apalagi
dihina. Mereka menerapkan sanksi hukum untuk para penyangkal Holocaust.
Tapi, Nabi Muhammad yang sangat dimuliakan umat Islam, dianggap sah
untuk dihina dan tidak ada sanksi hukum untuk para pelakunya. Sungguh
sebuah kemunafikan. Padahal, pemberhalaan Holocaust telah mendatangkan
tragedi kemanusiaan yang sangat besar: penjajahan Palestina,
dialokasikannya anggaran dalam jumlah besar oleh negara-negara Barat
untuk mendukung Israel, serta berbagai peperangan di negara-negara
Muslim yang diarsiteki oleh Zionis.
Ini bukan teori konspirasi.
Profesor Hubungan Internasional dari Chicago University, John
Mearsheimer, pernah menulis makalah tentang para lobbyist Israel yang
menjadi dalang dari berbagai kebijakan luar negeri AS yang mendukung
Israel; alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat AS sendiri. Tentu
saja, Mearsheimer mendapatkan intimidasi hebat gara-gara keberaniannya
menulis makalah itu. Bahkan kebebasan akademis pun tak dijunjung bila
menggugat ‘kesucian’ kaum Zionis Israel.
Terakhir, sebagai
instrospeksi buat kita, kaum Muslimin, saya ingin mengutip komentar
seorang non-Muslim di AS di sebuah situs, “Yang membuat saya heran
adalah, ingatkah Anda kejadian tentara AS membunuh lebih dari selusin
orang Afghanistan, termasuk anak-anak? Saat itu sama sekali tidak ada
aksi protes, apalagi sampai seperti di Libya. Tapi, seandainya ada yang
berani membakar Qur’an, itu artinya perang!”
Ya, kita memang
wajib mencintai Rasulullah dan Al-Qur’an. Saat keduanya dihina, kita
harus menunjukkan sikap protes. Tapi yang lebih esensial lagi tentunya,
menunjukkan kecintaan itu bukan pada saat dihina saja, melainkan setiap
saat. Apalagi, penghinaan terhadap Rasulullah dan Al-Qur’an pada
hakikatnya terjadi setiap saat, dalam bentuk penjajahan di negara-negara
Muslim, baik itu penjajahan fisik (pendudukan militer dan pembunuhan
rakyat sipil oleh tentara Barat) maupun penjajahan ekonomi.
*Penulis adalah magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran,
research associate Global Future Institute (dari situs: review of
indonesian & malaysian affairs news)
0 comments:
Post a Comment