Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... “Mba.. aku punya temen yang
aneh banget lho...“ adikku berkata tiba-tiba memecahkan kesunyian sore
itu.
’’Hmm..’’ aku hanya menggumam mendengar pernyataan
adikku tanpa melepaskan tatapan mataku dari buku yang sedang kunikmati
isinya.
’’Bener lho Mba, dia tuh salah satu orang ter-aneh yang pernah aku jumpai..’’ lanjut nya lagi.
’’Ya...wajar
aja lah dek...orang aneh kayak kamu, pasti temennya juga aneh
kan...?’’ Aku hanya menjawab pernyataan adikku sekenanya, sambil
tersenyum menggodanya.
’’Mba...mau denger nggak sih?..ini
serius..ntar mba rugi kalo gak mau dengerin aku..’’ lanjutnya dengan
nada sedikit lebih tinggi.
’’Ya...kalau kamu merasa dia
aneh...jangan dijadiin temen doong...sekarang aja kamu tu dah aneh
banget...ntar gaul sama dia...bisa mampus Mba ngadapin kamu...’’ jawabku
sekenanya.
Adik bungsu ku itu tidak memperdulikan jawabanku
barusan. Melihat aku meletakkan bukuku, dengan muka yang serius dan
berkerut dia mulai bercerita. Seperti biasa, kalau ekspresinya sudah
begini, maka..sesibuk apapun aku –dengan terpaksa ataupun dengan
kerelaan- aku HARUS punya waktu untuk mendengarkannya.
Kebetulan
adikku sedang weekend di kotaku. Dia sedang menyelesaikan studi
masternya di salah satu kota di daerah barat Jerman, tetapi saat ini
dia sedang melakukan pratikum (kalau di Indonesia setara dengan kerja
praktek) di salah satu kota di bagian selatan. Kebetulan aku tinggal di
kota antara barat dan selatan, sehingga dia mampir sebentar sekalian
untuk menjengukku.
’’Aku kenal dia belum sampai setahun di
tempat aku pratikum.’’ Adikku mulai bertutur. Pertama kali aku kenal
dengan dia, orangnya sih biasa saja...nothing special. Mungkin karena
kita sama-sama dari Indonesia, apalagi sesama muslim....so..akhirnya
kita jadi dekat dan akrab...’’.tuturnya perlahan.
Hmm...tumben..pikirku...
Aku
sangat kenal tabiat adikku yang satu ini. Dia tidak mudah untuk
menyatakan seseorang itu adalah teman dekatnya. Adikku ini dalam bergaul
emang teramat sangat jaim dan introvert.
’’Tumben...kamu punya
temen deket dek...yang Mba tau..temen yang kamu anggap deket sejak
lahir ampe sekarang kamu idup kan gak sampe 5 biji...hihi...’’ kembali
aku menggodanya.
’’Pasti ada sesuatu yang yang membuat kamu
betah dekat dengan dia, bener nggak?’’ kali ini aku mencoba meraba,
gerangan apakah yang membuat adikku ini bisa akrab dengan mahluk yang
katanya aneh ini.
’’Mba tau..??’’
’’Ya nggak lah, wong kamunya belum bilang kok.....gimana Mba bisa tau?’’ dengan sengaja aku memotong pembicaraannya.
’’Aku benar-benar menyayanginya dengan sepenuh hatiku’’. Adikku berkata lembut dengan sorot mata penuh kekaguman.
’’WHAT...wie
bitte..?? Barusan kamu bilang apa??..entar dulu...orang yang sedang
adek bicarain ini laki apa perempuan sih??’’ tanyaku bergegas.
’’Pffhh...Mba..ini..nyebelin banget! Ya cowok lah...’’ jawabnya ketus.
’’Emm...cowok toh...’’ jawabku ringan sambil tersenyum lebar.
’’Ikhwan?’’ timpalku lagi.
’’Hmm..kalo
yang Mba maksud adalah lelaki berjenggot dan dengan segala
atributnya...mungkin dia gak termasuk kategori ini deh, ,, ’’
‘’So...dia lelaki jenis yang mana,,, ?’’ tanyaku datar.
‘’Susah
buat memberi definisinya..yang aku tau..kalau dilihat dari luarnya,
dia adalah lelaki biasa-biasa saja. Tampangnya dan gaya bicaranya gaul
banget. Tetapi..kalau kita kenal dia lebih jauh, bagiku dia adalah
cowok keren, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya!’’ kembali
adikku berkata dengan sorot mata berbinar.
‘’Tapi tadi katanya
dia mahluk aneh?.kok sekarang jadi mahluk keren?..gak konsisten kamu
ah....’’ kembali aku menggoda adik bungsuku ini.
Hmm..kalau
kata-kata pujian atau kekaguman keluar dari mulut adikku ini, berarti
kualitas orang yang sedang dibicarakannya adalah memang bukan
sembarangan. Adikku ini sangat pelit dengan pujian, atau mengakui
kekagumannya kepada seseorang. Karena dia punya standar yang cukup
tinggi dalam memberikan penilaian.
Bagiku wajar saja, toh dia
sendiri adalah kebanggaan di keluarga kami. Dia menyelesaikan S1-nya di
jurusan teknik dalam waktu 3, 5 tahun dengan predikat cum laude di
Institut bergengsi.
Semenjak semester kedua kuliah dia sudah
hidup mandiri dengan hasil keringatnya sendiri. Mendapatkan beasiswa
top-ten student Indonesia dan penghasilan di sana sini dengan
kepiawaiannya mengajar.
Selain padat dengan jadwal kuliah dan
mengajar privat, dia menyempatkan diri pula untuk mengajar mengaji
anak-anak di masjid dekat rumah kontrakan kami. Menghidupkan masjid,
mencarikan orang tua asuh bagi anak-anak kurang mampu yang menjadi
murid mengajinya, dan bahkan terkadang merangkap menjadi imam dan
muadzin, bahkan tukang ojek part time mama kalau pergi ke pengajian.
‘’Coba Mba tebak ya...dia..pasti sholeh? Bener nggak?
Trus...pekerja
keras. Iya khan?.and...apalagi ya?.ah, palingan seputar itulah..gak
bakalan jauh-jauh dari situ..iya kan??’’ Kataku dengan senyum penuh
kemenangan. Karena aku yakin sekali, tebakanku kali ini tidak akan
meleset jauh.
’’Secara umum bener sih. Tapi cara sholehnya itu
loh mba, yang gak masuk dalam jangkauan akalku...’’ jelasnya sambil
menerawang jauh.
‘’Maksudnya? Mba gak ngerti..’’ tanyaku dengan sedikit rasa penasaran dibenakku.
’’Kita
sekarang ini bukan sedang di Indonesia Mba. Kalau aku temuin dia di
Indonesia, ato di Bandung misalnya..mungkin bagiku sih biasa aja.
Tapi, kalau untuk ukuran di sini -di Jerman- hmm..berat!’’. tuturnya sambil menghela nafas.
Aku
terdiam sejenak dan mulai menaruh perhatian pada apa yang barusan
diucapkan oleh adikku. Dalam hati aku membenarkan ucapan adikku barusan.
Untuk istiqomah tetap pada aturan Allah di sini tidaklah semudah
mengucapkannya. Butuh perjuangan dan kesungguhan penuh. Untuk melakukan
ibadah rutin –sholat lima waktu- tidaklah semudah di Indonesia. Belum
lagi untuk selalu berhati-hati dalam segala hal, menjaga diri dari
makanan haram dan menjaga pandangan misalnya. Benar-benar butuh azzam.
‘’Dia temenmu sama-sama kuliah? Dia sedang ambil Master juga di sini? Dia ikut tarbiyah?’’ tanyaku beruntun.
’’Aku ketemu dia ketika sedang pratikum di Ulm. Dia juga sedang berjuang menyelesaikan program masternya’’.
‘’Beasiswa?’’ tanyaku penasaran.
’’Ndak. Dia kuliah sambil bekerja part-time di sini’’.
’’Maksud Mba, beasiswa dari keluarga’’ timpalku sambil tersenyum simpul.
‘’Ndak
juga. Dia tidak mau menerima kiriman dari orang tuanya dari Indonesia.
Dia nggak tega, soalnya mereka sudah cukup tua katanya’’. jawab adikku
sambil tetap menjawab dengan nada serius.
‘’Oo..gitu..’’ jawabku sambil berfikir, mencari bagian yang aneh tentang temennya tersebut.
‘’Mba
tau, setiap waktu sholat tiba..dia akan segera berwudhu, mengenakan
pakaian terbaiknya, dan... selalu mengumandangkan adzan di kamarnya’’.
lanjut adikku dengan kalem.
‘’Maksudmu?’’ adzan di apartementnya?’’ tanyaku untuk memastikan pendengaranku.
‘’Iya. Bila kita kebetulan tidak sedang di luar apartement, dia selalu melakukan hal tersebut’’.
‘’Bahkan ketika kamu sedang berada di kamarnya?’’ selidikku lagi.
’’Iya,
dia tidak pernah perduli apakah lagi sendiri ataukah ada teman yang
sedang mengunjunginya. Bila waktu sholat telah tiba, dia dengan cueknya
adzan di kamarnya dengan suara yang syahdu dan mengajak sholat
berjamaah’’. Dengan semangat adikku menjelaskan.
’’Hmm...unik juga ya..’’ sahutku sambil mencerna ucapan adikku.
Setelah hening sejenak, aku kembali bertanya kepada adikku.
’’Adek pernah tanya ke dia nggak, kenapa dia melakukan hal itu?’’ selidikku penasaran.
’’Pernah sih, setelah aku mati penasaran melihat tingkahnya yang nggak cuma sekali itu’’.
’’Trus...apa jawabannya?’’ Kucondongkan mukaku menanti jawaban dari mulut adikku.
’’Dia
bilang waktu sholat sudah tiba, dan dia merasa berkewajiban untuk
menyeru menegakkan sholat, menghadap Allah untuk mencapai kemenangan“.
lanjut adikku.
’’Tapi kan kadang-kadang di apartemennya cuma ada
dia sendirian...so, dia adzan buat siapa?’’ lanjutku dengan nada yang
sedikit tecekat di tenggorokan.
’’ Iya.emang..’’ jawab adikku
dengan sorot mata berkaca, menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha
menahan agar bulir kristal dari bening matanya tidak tertumpah.
Mengertilah
aku kini, gerangan perasaan yang tengah melanda di hati adik bungsuku
ini. Dia tengah dilanda cemburu. Cemburu kepada saudaranya yang
mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah dengan cara yang tidak
pernah terlintas di kepalanya.
’’Mungkin itu emang ibadah ’andalannya’ ’’ lanjutku hanya untuk sekedar menetralisir perasaannya.
’’Kamu
kan juga punya ibadah favorit yang selalu berusaha istiqomah kamu
lakukan dari dulu sampe sekarang’’. Kuucapkan kata-kataku dengan
sebijak dan setenang mungkin.
Adikku hanya diam, menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku terjemahkan.
’’Kamu
Insya Allah masih istiqomah kan untuk selalu sholat subuh di masjid?’’
tanyaku lagi seraya menatap matanya hanya untuk sekedar memastikan.
Adikku mengangguk perlahan.
’’Subuh
di masjidnya di semua musim kan? Maksud Mba, mau summer ataupun winter
kamu tetap sholat subuh di masjid kan?’’ lanjutku berusaha untuk
mencairkan suasana.
Adikku kembali mengangguk.
’’Tapi dia
juga selalu sholat subuh di Masjid Mba. Mau sedingin apapun winter di
sana, dia tetap untuk berusaha sholat subuh di Masjid’’. Lanjut adikku
lagi.
‘’Asik doong, kalo gitu kamu punya temen buat sholat
subuh’’ lanjutku lagi dengan nada setenang mungkin, dengan segenap
gemuruh cemburu didadaku.
Subhanallah, dari dasar hati yang
terdalam, aku benar-benar memberikan dua jempol untuk mereka berdua.
Untuk sholat shubuh tepat waktu, serta berjamaah di masjid -di negeri
ini- benar-benar dibutuhkan energi kesholehan yang luar biasa.
Aku
tahu, tidak semua orang sanggup melakukannya. Hanya orang-orang yang
sudah terbiasa melakukannya dan menjadi bagian yang tak terpisah dari
jiwanya saja yang akan sanggup melaksanakannya. Dengan jadwal shubuh
yang tidak tetap seperti di Indonesia, dengan masjid yang tidak selalu
ada di setiap kota, serta dengan jiwa yang selalu berusaha istiqomah
melakukannya, tentu, hanya akan bisa dilakukan oleh orang-orang pilihan
saja!
’’Aku mempunyai beribu kenangan indah dengan temanku ini
Mba. Dari dia aku belajar banyak hal. Tentang arti ketulusan, kejujuran,
kelembutan hati, dan terutama cara dia mengekspresikan cintanya kepada
Allah.
Pernah suatu hari sedang terjadi gerhana bulan. Dia
menelponku dan mengajakku untuk melakukan sholat sunat gerhana bulan di
Masjid. Karena dia mengikuti beberapa kajian di Masjid, Imam Masjid di
sana cukup dekat dengan dia, sehingga dia mendapatkan informasi tentang
adanya sholat gerhana bulan tersebut. Aku sih senang-senang saja
diajak sholat gerhana bulan. Apalagi waktu itu hari Jumat, dan kupikir
Insya Allah tidak akan lama.
Aku nggak tau kalau yang bakalan
jadi imamnya ternyata seorang hafidz Quran. Di rakaat pertama beliau
membaca surat Ali imron, dan di rakaat kedua kalau aku nggak salah
Beliau membaca surat An-Nisa. Kebayang kan berapa lama jadinya?’’
adikku bercerita dengan bersemangat tapi dengan mimik muka yang masam.
Aku hanya tersenyum geli mendengar cerita adikku.
‘’Wah,
bagus buatmu dong dek! Jadi sekalian ngulang hafalan Ali
Imronmu..haha..’’ aku berkata seraya tak kuasa menahan gelak tawaku,
karena terbayang di benakku wajah adikku yang manyun dengan kaki yang
pegal dan hati bertanya-tanya, kapan sholatnya bakalan kelar!
‘’Dan
Mba tau nggak?? Tadinya aku mau complaint tentang imam yang gak ‘care’
banget dengan jamaah yang mungkin cape karena surat yang dibacanya
panjang baget ke temanku itu. Tetapi ketika aku melihat wajahnya yang
begitu bahagia dan tidak sedikitpun terlihat letih, aku urungkan niatku
untuk sedikit ‘’complaint’’. Aku tidak habis pikir, semangat apa yang
ada di dalam jiwanya, sehingga dia tidak terlihat lelah sedikitpun kala
itu. Karena aku tahu, beban kuliah ditambah dengan beban untuk mencari
rezeki untk menyambung hidup di sini, sudah cukup untuk membuat kita
letih.
Setelah sholat gerhana bulan selesai, aku dan temanku
pulang dengan mengendarai sepeda kami dan dengan udara yang teramat
sangat dingin. Mba pasti bisa membayangkan gimana cuaca jam 3 pagi di
musim dingin di daerah selatan Jerman.
Tapi ketika itu, yang aku
rasakan hanyalah kehangatan suasana persaudaraan karena Allah semata.
Begitu indah. Di negeri yang hampir sebagian besar penduduknya tidak
mengenal Allah, kutemui saudaraku yang begitu dalam kecintaannya kepada
Allah, yang bukan hanya sekedar di bibir saja. Karena tatap mata tidak
pernah berdusta Mba. Aku benar-benar temukan binar mata dengan luapan
rasa cinta yang begitu indah pada dirinya, ketika dia beribadah kepada
Allah. Dia benar-benar mengayuh sepedanya pulang kerumah dengan segenap
energi cintanya kepada Allah.
Kalau mengingat kejadian itu, aku
jadi malu sendiri dan serasa bermimpi. Hari gini, di sini, kutemui
salah seorang yang dalam pandanganku begitu mencintai Allah. Dan di
hati kecilku aku bertanya, bagaimanakah keadaaan para sahabat di zaman
Rosulullah, sahabat dan para salafus sholeh?? Bagaimana cara mereka
mengekspresikan rasa cintanya kepada Allah?’’ adikku menarik nafasnya
perlahan dan menghembuskannya dengan penuh kegalauan.
Sungguh,
akupun hanya bisa termangu ketika mendengarkan cerita adikku tentang
temannya yang ‘aneh’ itu. Dan aku menjadi penasaran dengan keanehan
yang mungkin saja masih ada dalam dirinya.
‘’Trus, kerjaan
‘aneh’ apalagi yang dia lakuin selain itu dek?’’ tanyaku untuk
mengetahui kebaikan tersembunyi apalagi yang bisa aku gali dan berharap
bisa belajar banyak darinya. Adikku tersenyum misterius dan menggeleng
gelengkan kepalanya perlahan.
‘’Kalau aku ceritain ke Mba, Mba pasti bilang aku sedang membual’’ jawab adikku sekenanya.
‘’Ya
nggak lah, Insya Allah Mba percaya kok. Lagian kan gak ada untungnya
juga buat kamu kalau kamu bohong’’ jawabku berusaha meyakinkannya.
‘’Pernah
suatu hari, secara tidak sengaja dia menggunakan wireless internet
connection yang tidak di password sama yang punya. Setelah selesai
memakainya, dia baru tersadar, kalau itu sebenarnya adalah bukan
haknya. Mba tau, apa yang kemudian dia lakukan?’’ Tanya adikku seraya
menatapku dalam.
Aku hanya diam dan menggelengkan kepala.
‘’Dia
berusaha mencari sang empunya wireless internet connection itu. Dia
datangi rumahnya, dengan tujuan supaya sang pemilik menghalalkan
internet connection yang telah dipakainya karena kekhilafannya.’’ papar
adikku.
Aku hanya melongo mendengarkan penuturan adikku.
‘’Dan...apa dia ketemu dengan sang empunya’’ tanyaku penasaran.
’’Sayangnya
tidak. Tetapi dia mendatangi rumah tersebut hingga tiga kali untuk
menyempurnakan ikhtiarnya’’. Lanjut adikku lagi seraya menghela nafas.
’’Kok
seperti kisah ayah Imam Hanafi yang minta dihalalkan sang empunya
apel, karena telah memakan buah apelnya secara tidak sengaja ya dek?’’
komentarku spontan.
’’Benar. Aku juga memikirkan hal yang sama
dengan yang Mba pikirkan. Itulah dia temanku itu. Dia begitu Hanif.
Refleksi dari kesholehannya itu kadang-kadang membuat aku iri. Dan
terkadang sesuatu yang unpredictable bagiku, tidak bisa kuduga. Aku
benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah mempertemukan aku dengan
orang seperti dia, sehingga banyak yang telah aku pelajari dari dia.
Cara
dia beribadah dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal baginya.
Cara dia mejaga diri dan menjaga pandangan. Serta llisannya yang selalu
menyebut nama Allah dalam setiap pembicaraannya, menunjukkan betapa
dia begitu mencintai Rabbnya. Dia adalah sahabatku, saudaraku. Bagiku
ia adalah sosok seorang pemuda sholeh yang tidak dikenal, ahli ibadah
yang tersembunyi di ujung Jerman.’’ Adikku berkata syahdu dengan
segenap perasaan sendu yang tidak kumengerti.
Setelah mendengar
cerita adikku itu, lama aku merenung, mencoba memahami hikmah dan
pelajaran yang Allah sampaikan kepadaku. Teringat akan salah satu
artikel yang pernah aku baca di majalah Tarbawi edisi 133. Ketika Allah
kagum pada seorang pengembala. Dengan apa? Bila tiba waktunya untuk
sholat, di padang lapang itu, ia berdiri mengumandangkan adzan.
Sendirian. Lalu sholat. Sendirian.
’’Sesungguhnya Tuhanmu kagum
kepada seorang pengembala kambing’’. Begitu Rasulullah menjelaskan.
Istimewa? Ini baru istimewa. Ya bahkan sangat istimewa. Seperti
diriwayatkan Abu Dawud dan Nasa’i, setelah pengembala itu melakukan
shalat, Allah SWT berfirman: ’’Lihatlah hamba-Ku ini, ia adzan, lalu
mendirikan sholat. Ia takut kepada-Ku. Aku telah mengampuninya, dan aku
masukkan ia ke surga.’’
Subhanallah. Di zaman yang penuh fitnah,
masih ada pemuda-pemudayangtetap taat beribadah kepada Allah. Pada
zaman ketika kebaikan dan keburukan menjadi begitu tak jelas maknanya.
Pada tempat di mana segala kemaksiatan begitu bebas terbuka untuk
dilakukan oleh siapa saja...bagiku...keberadaan mereka benar-benar luar
biasa. Bak oase di gersangnya sahara. Menyejukkan.
Di
penghujung senja, dalam sejuta kecamuk didadaku. Berbaur bangga,
cemburu dan bahagia, kutitip do’a pada malaikat yang bertugas hari itu.
Semoga Allah selalu berikan kekuatan istiqomah kepadamu brother. Tetaplah menjadi lelaki subuh.
Tetaplah
kumandangkan adzan hingga getar cinta dalam syahdunya suaramu
menggetarkan kerajaan langit dan segenap penduduknya. Tetaplah teguh
dalam kesolehanmu. Dalam kesendirianmu.
Tetaplah menjadi pemuda
yang tidak dikenal oleh segenap penduduk bumi, tapi selalu menjadi
pembicaraan di seluruh penjuru langit yang tinggi...karena kesholehanmu,
karena kecintaamu kepada Allah SWT.
Mainz.
Winter season.
Oleh Rts.Mardiyati Ismail
Saturday, September 1, 2012
:: Lelaki Shubuh ::
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment